Kemaksiatan/kemunkaran/kejahatan di negeri muslim terbesar, Indonesia, sudah sangat keterlaluan. Tindakan biadab yang merusak sendi-sendi keimanan dan keharmonisan sosial itu sudah semakin merajalela dan dibiarkan berkembang terus di tengah masyarakat muslim.
Lihatlah bagaimana para wanita Tuna Susila beserta germo-germonya sudah berani melakukan unjuk rasa di Surabaya pada beberapa tahun yang lalu, menuntut hak untuk berpraktik maksiat di Dolly.
Para penjudi, pemabok, kaum homoseks, pecandu dan pemasok minuman keras, pengedar narkoba, pemasok barang-barang porno juga sudah secara terang-terangan melakukan praktik kebejatan mereka.
Di Jakarta, media massa melaporkan banyaknya praktik perjudian, pelacuran, bahkan Majalah Popular pernah melaporkan adanya satu lokasi di Jakarta ( di kawasan “P”) yang dijadikan tempat “Taman Eden”, yaitu suatu tempat laki-laki dan perempuan berkumpul tanpa pakaian selembar pun – persis seperti perilaku binatang.
Melihat semua kebobrokan moral tersebut, sudah sama-sama dimaklumi, aparat pemerintah dan maysrakat muslim seolah-olah tidak berdaya, dan membiarkan semua kejahatan itu berlangsung terus. Apakah melihat semua itu umat Islam boleh berdiam diri ? Jawabnya jelas, TIDAK! Umat Islam haram berdiam diri !
Kemaksiatan (kemungkaran) adalah perbuatan yang jelas-jelas dikutuk oleh Allah SWT. Karena itu, secara tegas, Nabi Muhammad SAW memerintahkan agar setiap muslim terlibat aktif dalam mencegah kemunkaran. Setiap muslim tidak boleh berdiam diri saat menyaksikan kemunkaran. Jika berdiam diri – tetapi tidak setuju terhadap kemungkaran itu - dia berada dalam kondisi “selemah-lemah iman”.
Tentu sangat tidak benar jika ada yang “setuju dan mendukung kemungkaran”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, wajib hukumnya mengingkari kemungkaran. “Hanya hal itu dilakukan sesuai dengan kemampuan untuk melakukannya. Adapun meningkari dengan hati adalah suatu yang mesti, apabila tidak diingkari dengan hati maka hal itu merupakan dalil (bukti) atas hilangnya iman di hati seseorang.” (Ibnu Taimiyah, Manhaj Da’wah Salafiyah, th. 2001 hal. 17)
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa diantara kamu yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika ia tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya; dan jika tidak mampu, (ubahlah) dengan hatinya. Dan itulah selemah-lemah iman.” (HR Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunan).
Jadi, umat Islam haram berdiam diri. Umat Islam wajib bertindak. Jika tidak bertindak, maka mereka akan terkena azab Allah SWT. Tatkala azab Allah datang, maka azab itu tidak pandang bulu, tetapi akan menimpa semua warga masyarakat, baik si pelaku maksiat atau pun orang-orang baik diantara masyarakat.
Allah SWT berfirman: “Dan jagalah dirimu dari bencana yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah, Allah sangat keras siksanya.” (QS Al Anfal:25).
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya manusia, jika mereka melihat kemunkaran, sedangkan mereka tidak mengubahnya, maka datanglah saatnya Allah menjatuhkan siksa-Nya secara umum." (HR. Abu Dawud)
Rosululloh saw juga bersabda;
“Kamu harus mengajak mereka kepada yang makruf dan harus mencegah kemunkaran; jika tidak (kamu lakukan), maka Allah pasti akan menjadikan orang-orang paling jahat diantara kamu sebagai pemimpinmu (penguasa); dan jika orang-orang baik diantara kamu berdoa, maka doa mereka tidak dikabulkan.” (HR. Al Bazzar dan Thabrani).
Jadi, dalam pandangan Islam, meluasnya kemungkaran, adalah sesuatu yang harus disikapi dengan serius, sebab hal itu berdampak langsung kepada kehancuran masyarakat. Kemungkaran bukanlah urusan pribadi yang setiap warga masyarakat boleh melakukannya dengan semena-semena atau seenaknya sendiri. Cara pandang seperti itu adalah merupakan cara pandang individualistik dan zionistik.
Rasulullah SAW mengibaratkan, bahwa suatu masyarakat itu seperti para penumpang perahu. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Nabi SAW membuat paparan tentang sekelompok penumpang kapal sebagai tamsil sebuah masyarakat. Penumpang menempati tempat duduknya masing-masing, ada yang dibagian atas dan ada yang di bagian bawah. Penumpang yang dibagian bawah, enggan naik ke atas, untuk mengambil air. Karena tidak mau repor-repot, maka ia melobangi saja bagian bawah tempat duduknya, untuk mengambil air. Digambarkan oleh Rasulullah SAW, jika para penumpang lainnya mendiamkan saja tindakan si penumpang, maka akan binasalah si penumpang, dan juga binasa seluruh penumpang kapal itu.
Jadi, jika umat Islam berdiam diri, dan mendiamkan saja berbagai tindak kemunkaran melanda masyarakat mereka, maka umat Islam akan binasa bersama-sama dengan para pelaku maksiat.
Lalu bagaimana Islam memberikan cara untuk mencegah kemunkaran ?
Berikut tiga cara atau tiga tahap dalam mencegah kemunkaran yang telah dianjurkan oleh agama;
1. Mengubah kemungkaran dengan tangan (kekuasaan)
Ketika menyaksikan suatu kemungkaran, maka umat Islam diperintahkan untuk mengubahnya dengan tangan (kekuasaan). Dalam hal ini adalah orang-orang yang berkuasa dalam suatu pemerintahan, seperti presiden, gubernur, bupati, walikota dan lain sebagainya.
2. Mengubah kemungkaran dengan lidah (nasihat;peringatan)
Kalau memang tak mampu mencegah dengan kekuasaan maka cara yang bisa dilakukan adalah dengan cara memberi nasihat, mengingatkan pada orang yang melakukan kemunkaran bahwa apa yang dilakukannya itu adalah salah dan merupakan bentuk kemaksiyatan.
3. Mengubah kemungkaran dengan do'a
Jika dengan nasihat pun tidak bisa mencegah kemunkaran itu, maka yang masih bisa dilakukan adalah berdo'a semoga orang-orang yang lakukan kemunkaran diberikan hidayah oleh Allah SWT, bisa lekas menyadari kesalahan dan kembali ke jalan yang benar. Disamping berdo'a kita juga harus mengingkari kemunkaran itu dengan hati yang dalam kata lain adalah tidak membenarkan dan tidak mendukung kemunkaran itu.
Jadi, prioritas dalam mengubah kemungkaran adalah dengan tangan terlebih dahulu. Artinya, menghentikan langsung tindakan kemungkaran tersebut, dengan paksa, sehingga kemungkaran itu tidak berlanjut lagi.
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada suatu kaum yang pada mereka dilakukan kemaksiatan—kemudian mereka mampu untuk mengubahnya, tetapi mereka tidak melakukannya–kecuali hampir-hampir Allah akan meliputi mereka dengan siksaannya.” (HR Abu Dawud)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan, bahwa berdasarkan nash-nash Al Quran dan Sunnah, maka amar ma’ruf nahi munkar adalah “fardhu kifayah” hukumnya. Artinya, kewajiban itu dibebankan kepada seluruh komunitas umat Islam, tetapi jika sebagian umat telah melakukannya dengan efektif, maka kewajiban itu gugur bagi yang lain.
Kewajiban mencegah kemungkaran dengan “tangan” (paksaan) sebenarnya merupakan kewajiban negara untuk melaksanakannya. Tetapi, jika negara tidak melaksanakannya, maka umat Islam boleh melakukannya dengan “tangan”. Dalam buku yang ditulis oleh Salman bin Fahd al-’Udah dengan judul Amar Ma’ruf Nahi Munkar, disebutkan adanya empat syarat yang ditentukan oleh para ulama jika kaum Muslim akan menggunakan “tangan” untuk mengubah suatu kemunkaran. Keempat syarat itu ialah:
1. Pada saat itu tidak ada instansi khusus yang berwenang untuk mengubah kemungkaran dengan “tangan”
Pada dasarnya, perubahan kemunkaran dengan “tangan” menjadi tugas pemerintah. Akan tetapi, di kebanyakan negeri Islam, institusi semacam ini biasanya tidak ada, dan jika ada ternyata tidak melaksanakan tugasnya secara maksimal. Pada kondisi ini, terbuka peluang bagi rakyat biasa untuk melakukan perubahan kemunkaran dengan “tangan”.
2. Tindakan — mengubah kemunkaran dengan tangan
Itu akan mendatangkan kemaslahatan yang lebih besar dari pada kerusakan yang ditimbulkannya. Tapi, jika tindakan itu akan menimbulkan bahaya yang lebih besar, seperti penindasan terhadap aktivis dakwah atau malah tersebarnya kemunkaran lebih luas lagi, maka dalam kondisi seperti itu, tindakan mengubah dengan “tangan” harus dihindari.
3. Tidak ada jalan lain kecuali mengubah kemunkaran itu dengan “tangan”
Yakni, jika kemunkaran itu sudah diupayakan untuk diubah dengan “lisan” semaksimal mungkin, namun masih saja kemunkaran itu dilakukan atau berlangsung. Maka dalam kondisi seperti ini, diperbolehkan mengubah kemunkaran dengan “tangan”.
4. Ini merupakan syarat terpenting, yaitu selalu berkonsultasi dengan para ulama
Tujuannya adalah untuk menjaga keselamatan para pengubah kemunkaran dengan “tangan” itu, sebab tidak jarang mereka mengalami perlakuan yang kurang baik, termasuk keluarganya. Tujuan lainnya, agar hal itu semakin memperkuat kedudukan para ulama serta melipatgandakan efektivitas mereka dalam mengubah kemunkaran dengan “tangan”.
Artikel ditulis Oleh: H.Adian Husaini, M.A. (Anggota Komisi Kerukunan antar-Umat Beragama MUI Pusat)