Perihal pemasangan behel di gigi untuk sebuah kepentingan tertentu seperti alasan publik pada lazimnya merapikan posisi gigi, sangat baik. Behel sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kawat. Sampai di sini, para ulama tidak berbeda pendapat. Asy-Syaukani menyebutkan sebagai berikut.
أقول: الأصل الحل كما يفيده قوله عزوجل: {هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ} [البقرة: 29] ، وقوله: {قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ} [الأعراف: 32] ، فلا ينقل عن هذا الأصل المدلول عليه بعموم الكتاب العزيز إلا ما خصه دليل ولم يخص الدليل إلا الأكل والشرب في آنية الذهب والتحلي بالذهب للرجال فالواجب الاقتصار على هذا الناقل وعدم القول بما لا دليل عليه بما هو خلاف الدليل ولم يرد غير هذا فتحريم الاستعمال على العموم قول بلا دليل وما كان ربك نسيا.
Hemat kami, pada prinsipnya semua itu boleh seperti dikatakan firman Allah “Dia yang menciptakan segala apa yang di bumi untuk kalian,” (Al-Baqarah ayat 29) dan “Katakan, siapakah orang yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya, dan rezeki yang baik-baik,” (Al-A’raf ayat 32). Belum ada nukilan makna umumnya lafal ayat Al-Quran di atas dari prinsip ini kecuali dalil lain yang membatasinya. Sementara ini tidak ada yang membatasi dalil di atas kecuali hadits yang melarang untuk makan dan minum di wadah terbuat dari emas maupun perak, dan perhiasan emas bagi pria. Karenanya, kita harus membatasi diri pada nukilan di atas; dan tidak perlu berpendapat tanpa dalil yang justru bertentangan dengan dalil yang sudah ada. Sedangkan dalam masalah ini, belum ada dalil lain selain dalil di atas. Karenanya, pengharaman terhadap penggunaan perhiasan itu berdasarkan umumnya dalil di atas, merupakan pendapat tanpa dasar. Tuhan sendiri bukan pelupa. (Lihat Asy-Syaukani, As-Sailul Jarrar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada’iqil Azhar, Daru Ibnu Hazm).
Adapun hadits larangan makan dan minum pakai wadah emas dan perak yang dimaksud Asy-Syaukani ialah sebagai berikut.
قَوْله صلى الله عليه وسلم: "لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ اَلذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِها، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدنيا، ولكم في الآخرة". متفق عليه
“Jangan kamu minum di wadah emas dan perak. Jangan juga makan di piring yang terbuat daripadanya. Semua itu (emas dan perak) untuk mereka (orang musyrik) di dunia dan untuk kamu di akhirat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Lalu bagaimana hukumnya menggunakan emas atau perak sebagai perhiasan? Sampai di sini, para ulama berbeda pendapat. Asy-Syaukani mengambil posisi sebagai berikut.
وأما قوله: "والتجمل بها" فوجهه أن ذلك مما أحله الله ولم يحرمه كما لم يحرم استعمال الذهب والفضة في غير الأكل والشرب والتحلي بالذهب فالكل حلال طلق أباحه الذي خلقه لعباده لا يسأل عما يفعل وهم يسألون.
Adapun “berhias dengan emas” mesti dilihat bahwa itu termasuk yang dibolehkan oleh Allah dan tidak diharamkan. Persis seperti Allah tidak mengharamkan penggunaan emas dan perak untuk selain makan dan minum. Dia tidak mengharamkan berhias dengan emas (untuk kalangan wanita). Semua itu halal dan bebas yang Allah izinkan hamba-Nya untuk menikmati ciptaan-Nya. Dia tidak ditanya atas apa yang diperbuat-Nya. Sementara merekalah yang akan dimintakan pertanggungjawaban. (Lihat Asy-Syaukani, As-Sailul Jarrar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada’iqil Azhar, Daru Ibnu Hazm).
Berikut ini pandangan madzhab Hanbali dan Syafi’i perihal emas atau perak yang sudah disepuh.
وقال الحنابلة مثل الشافعية: يحرم المضبب بضبة كثيرة من الذهب أو الفضة، لحاجة أو غيرها. ولا يباح اليسير من الذهب إلا للضرورة كأنف الذهب وما ربط به الأسنان، ويباح اليسير من الفضة؛ لحاجة الناس إليه.
Seperti kalangan Syafi’iyah, madzhab Hanbali berpendapat, haram menggunakan logam campuran emas dan perak di mana keduanya lebih dominan daripada logam jenis lainnya baik untuk suatu hajat dan lainnya. Meskipun sedikit, haram menggunakan emas kecuali karena darurat seperti membuat hidung dari emas dan untuk mengikat gigi. Sedangkan penggunaan sedikit perak diperbolehkan untuk suatu kepentingan. (Lihat Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, Juz 10). Sementara untuk kepentingan perhiasan dari emas, Madzhab Hanbali memberikan rukhshah (keringanan).
وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلذَّكَرِ أَنْ يَتَّخِذَ قَبِيعَةَ سَيْفِهِ مِنَ الذَّهَبِ؛ لأَِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ لَهُ سَيْفٌ فِيهِ سَبَائِكُ مِنْ ذَهَبٍ، وَأَيْضًا فَإِنَّ عُثْمَانَ بْنَ حُنَيْفٍ كَانَ فِي سَيْفِهِ مِسْمَارٌ مِنْ ذَهَبٍ، ذَكَرَهُمَا أَحْمَدُ لِذَا رَخَّصَ فِي ذَلِكَ، وَإِنْ كَانَ لَهُ رِوَايَةٌ أُخْرَى بِتَحْرِيمِ ذَلِكَ مِثْل الْجُمْهُورِ.
Madzhab Hanbali berpendapat, boleh bagi kalangan pria untuk membuat gagang pedang dari emas karena Sayyidina Umar bin Khattab memiliki pedang dengan leburan logam emas. Ustman bin Hunaif juga memiliki pedang yang pakunya terbuat dari emas.Riwayat ini disebutkan Imam Ahmad. Karenanya ia memberikan rukhshah pada masalah ini kendati ada sebuah riwayat yang mengharamkannya seperti yang disebutkan jumhur ulama. (Lihat Kementerian Waqaf dan Agama Kuwait, Mausu’atu Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 45, cetakan kementerian agama setempat).
Sementara salah seorang pemuka Madzhab Hanbali Ibnu Qudamah mengutip riwayat sejumlah salafus saleh yang memakai emas dan jenis logam lainnya untuk kepentingan gigi mereka.
وروى الأثرم عن أبي جمرة الضبعي وموسى بن طلحة وأبي رافع وثابت البناني واسماعيل بن زيد بن ثابت والمغيرة بن عبد الله أنهم شدوا أسنانهم بالذهب وما عدا ذلك من الذهب
Al-Atsram meriwayatkan dari Abu Jamroh, Musa bin Thalhah, Abu Rofi’, Tsabit Al-Banani, Ismail bin Zaid bin Tsabit, dan Mughiroh bin Abdullah bahwa mereka menguatkan gigi mereka dengan emas dan logam jenis selain emas. (Lihat Ibnu Qudamah, Asy-Syarhul Kabir alal matnil Muqni’, Darul Kitab Al-Arabi).
Adapun sebagian orang mengharamkan pengubahan ciptaan Allah berdasarkan surat ar-Rum ayat 30 berikut.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Tegakkan wajahmu pada agama yang lurus, sebuah fithrah Allah yang ditetapkannya. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu. Itulah agama lurus. Tetapi kebanyakan orang tidak tahu.” (Ar-Rum ayat 30).
Menurut hemat kami, pertama penggunaan dalil ini untuk mengharamkan pasang behel, cangkok jantung, menambal (maaf) sumbing, atau cukur rambut misalnya, tidak mengena. Pasalnya “fithrah Allah” yang dimaksud oleh para ulama tafsir, bukan tampilan fisik manusia, tetapi Islam. Allah tidak mengubah Islam setiap anak yang lahir ke dunia. Tetapi orang tua yang mengubah Islam setiap anak menjadi yahudi, Nashrani, atau Majusi.
Kedua, pemakaian “La tabdila li khalqillah” (Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu) sebagai dalil pengharaman, mengandung problematik. Karena dalil ini tidak bicara secara spesifik sehingga bisa menyasar apa saja. Semacam pasal "karet" yang liar. Dengan dalil ini segala sesuatu bisa jadi haram seperti membuat lemari dari kayu pohon, menambal (maaf) bibir sumbing sejak lahir, dan atau memotong tali pusat bayi.
Para pembaca yang budiman, perihal pasang behel/kawat di gigi sejauh ini tidak ada dalil yang mengharamkan. Terlebih lagi kawat yang dipasang di gigi terbuat dari bukan logam emas atau pun perak. Pemasangannya pun berada di bawah pantauan dokter ahli. Sejauh tidak menimbulkan mudharat, pemasangan kawat di gigi untuk kepentingan kerapian gigi misalnya, tidak masalah.
Sumber: dari ngaji.web.id
أقول: الأصل الحل كما يفيده قوله عزوجل: {هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ} [البقرة: 29] ، وقوله: {قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ} [الأعراف: 32] ، فلا ينقل عن هذا الأصل المدلول عليه بعموم الكتاب العزيز إلا ما خصه دليل ولم يخص الدليل إلا الأكل والشرب في آنية الذهب والتحلي بالذهب للرجال فالواجب الاقتصار على هذا الناقل وعدم القول بما لا دليل عليه بما هو خلاف الدليل ولم يرد غير هذا فتحريم الاستعمال على العموم قول بلا دليل وما كان ربك نسيا.
Hemat kami, pada prinsipnya semua itu boleh seperti dikatakan firman Allah “Dia yang menciptakan segala apa yang di bumi untuk kalian,” (Al-Baqarah ayat 29) dan “Katakan, siapakah orang yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya, dan rezeki yang baik-baik,” (Al-A’raf ayat 32). Belum ada nukilan makna umumnya lafal ayat Al-Quran di atas dari prinsip ini kecuali dalil lain yang membatasinya. Sementara ini tidak ada yang membatasi dalil di atas kecuali hadits yang melarang untuk makan dan minum di wadah terbuat dari emas maupun perak, dan perhiasan emas bagi pria. Karenanya, kita harus membatasi diri pada nukilan di atas; dan tidak perlu berpendapat tanpa dalil yang justru bertentangan dengan dalil yang sudah ada. Sedangkan dalam masalah ini, belum ada dalil lain selain dalil di atas. Karenanya, pengharaman terhadap penggunaan perhiasan itu berdasarkan umumnya dalil di atas, merupakan pendapat tanpa dasar. Tuhan sendiri bukan pelupa. (Lihat Asy-Syaukani, As-Sailul Jarrar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada’iqil Azhar, Daru Ibnu Hazm).
Adapun hadits larangan makan dan minum pakai wadah emas dan perak yang dimaksud Asy-Syaukani ialah sebagai berikut.
قَوْله صلى الله عليه وسلم: "لَا تَشْرَبُوا فِي آنِيَةِ اَلذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلَا تَأْكُلُوا فِي صِحَافِها، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدنيا، ولكم في الآخرة". متفق عليه
“Jangan kamu minum di wadah emas dan perak. Jangan juga makan di piring yang terbuat daripadanya. Semua itu (emas dan perak) untuk mereka (orang musyrik) di dunia dan untuk kamu di akhirat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Lalu bagaimana hukumnya menggunakan emas atau perak sebagai perhiasan? Sampai di sini, para ulama berbeda pendapat. Asy-Syaukani mengambil posisi sebagai berikut.
وأما قوله: "والتجمل بها" فوجهه أن ذلك مما أحله الله ولم يحرمه كما لم يحرم استعمال الذهب والفضة في غير الأكل والشرب والتحلي بالذهب فالكل حلال طلق أباحه الذي خلقه لعباده لا يسأل عما يفعل وهم يسألون.
Adapun “berhias dengan emas” mesti dilihat bahwa itu termasuk yang dibolehkan oleh Allah dan tidak diharamkan. Persis seperti Allah tidak mengharamkan penggunaan emas dan perak untuk selain makan dan minum. Dia tidak mengharamkan berhias dengan emas (untuk kalangan wanita). Semua itu halal dan bebas yang Allah izinkan hamba-Nya untuk menikmati ciptaan-Nya. Dia tidak ditanya atas apa yang diperbuat-Nya. Sementara merekalah yang akan dimintakan pertanggungjawaban. (Lihat Asy-Syaukani, As-Sailul Jarrar Al-Mutadaffiq ‘ala Hada’iqil Azhar, Daru Ibnu Hazm).
Berikut ini pandangan madzhab Hanbali dan Syafi’i perihal emas atau perak yang sudah disepuh.
وقال الحنابلة مثل الشافعية: يحرم المضبب بضبة كثيرة من الذهب أو الفضة، لحاجة أو غيرها. ولا يباح اليسير من الذهب إلا للضرورة كأنف الذهب وما ربط به الأسنان، ويباح اليسير من الفضة؛ لحاجة الناس إليه.
Seperti kalangan Syafi’iyah, madzhab Hanbali berpendapat, haram menggunakan logam campuran emas dan perak di mana keduanya lebih dominan daripada logam jenis lainnya baik untuk suatu hajat dan lainnya. Meskipun sedikit, haram menggunakan emas kecuali karena darurat seperti membuat hidung dari emas dan untuk mengikat gigi. Sedangkan penggunaan sedikit perak diperbolehkan untuk suatu kepentingan. (Lihat Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, Beirut, Darul Fikr, Juz 10). Sementara untuk kepentingan perhiasan dari emas, Madzhab Hanbali memberikan rukhshah (keringanan).
وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلذَّكَرِ أَنْ يَتَّخِذَ قَبِيعَةَ سَيْفِهِ مِنَ الذَّهَبِ؛ لأَِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ لَهُ سَيْفٌ فِيهِ سَبَائِكُ مِنْ ذَهَبٍ، وَأَيْضًا فَإِنَّ عُثْمَانَ بْنَ حُنَيْفٍ كَانَ فِي سَيْفِهِ مِسْمَارٌ مِنْ ذَهَبٍ، ذَكَرَهُمَا أَحْمَدُ لِذَا رَخَّصَ فِي ذَلِكَ، وَإِنْ كَانَ لَهُ رِوَايَةٌ أُخْرَى بِتَحْرِيمِ ذَلِكَ مِثْل الْجُمْهُورِ.
Madzhab Hanbali berpendapat, boleh bagi kalangan pria untuk membuat gagang pedang dari emas karena Sayyidina Umar bin Khattab memiliki pedang dengan leburan logam emas. Ustman bin Hunaif juga memiliki pedang yang pakunya terbuat dari emas.Riwayat ini disebutkan Imam Ahmad. Karenanya ia memberikan rukhshah pada masalah ini kendati ada sebuah riwayat yang mengharamkannya seperti yang disebutkan jumhur ulama. (Lihat Kementerian Waqaf dan Agama Kuwait, Mausu’atu Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, juz 45, cetakan kementerian agama setempat).
Sementara salah seorang pemuka Madzhab Hanbali Ibnu Qudamah mengutip riwayat sejumlah salafus saleh yang memakai emas dan jenis logam lainnya untuk kepentingan gigi mereka.
وروى الأثرم عن أبي جمرة الضبعي وموسى بن طلحة وأبي رافع وثابت البناني واسماعيل بن زيد بن ثابت والمغيرة بن عبد الله أنهم شدوا أسنانهم بالذهب وما عدا ذلك من الذهب
Al-Atsram meriwayatkan dari Abu Jamroh, Musa bin Thalhah, Abu Rofi’, Tsabit Al-Banani, Ismail bin Zaid bin Tsabit, dan Mughiroh bin Abdullah bahwa mereka menguatkan gigi mereka dengan emas dan logam jenis selain emas. (Lihat Ibnu Qudamah, Asy-Syarhul Kabir alal matnil Muqni’, Darul Kitab Al-Arabi).
Adapun sebagian orang mengharamkan pengubahan ciptaan Allah berdasarkan surat ar-Rum ayat 30 berikut.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Tegakkan wajahmu pada agama yang lurus, sebuah fithrah Allah yang ditetapkannya. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu. Itulah agama lurus. Tetapi kebanyakan orang tidak tahu.” (Ar-Rum ayat 30).
Menurut hemat kami, pertama penggunaan dalil ini untuk mengharamkan pasang behel, cangkok jantung, menambal (maaf) sumbing, atau cukur rambut misalnya, tidak mengena. Pasalnya “fithrah Allah” yang dimaksud oleh para ulama tafsir, bukan tampilan fisik manusia, tetapi Islam. Allah tidak mengubah Islam setiap anak yang lahir ke dunia. Tetapi orang tua yang mengubah Islam setiap anak menjadi yahudi, Nashrani, atau Majusi.
Kedua, pemakaian “La tabdila li khalqillah” (Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah itu) sebagai dalil pengharaman, mengandung problematik. Karena dalil ini tidak bicara secara spesifik sehingga bisa menyasar apa saja. Semacam pasal "karet" yang liar. Dengan dalil ini segala sesuatu bisa jadi haram seperti membuat lemari dari kayu pohon, menambal (maaf) bibir sumbing sejak lahir, dan atau memotong tali pusat bayi.
Para pembaca yang budiman, perihal pasang behel/kawat di gigi sejauh ini tidak ada dalil yang mengharamkan. Terlebih lagi kawat yang dipasang di gigi terbuat dari bukan logam emas atau pun perak. Pemasangannya pun berada di bawah pantauan dokter ahli. Sejauh tidak menimbulkan mudharat, pemasangan kawat di gigi untuk kepentingan kerapian gigi misalnya, tidak masalah.
Sumber: dari ngaji.web.id