Sebelum Twitter Memblokirnya, Ini 3.000 Kicauan @DPP_FPI yang Sempat Terekam

Sebelum Twitter Memblokirnya, 3.000 Kicauan @DPP_FPI Masih Bisa Dibaca
Rizieq Shihab dalam sebuah aksi demo

Sebelum Twitter akhirnya memblokir akun Front Pembela Islam (@DPP_FPI), ada lebih dari 3.000 cuitan yang mereka terbitkan selama setahun terakhir sempat tersimpan. Apa saja isinya? Dan apakah benar akun itu melanggar ketentuan-ketentuan bermedia sosial ala burung biru itu?

Ada beberapa hal yang menarik yang bisa dibahas setelah membaca lebih dari 3.000 kicauan FPI di Twitter. Salah satunya adalah anggapan mereka yang memperlakukan diri sebagai pihak yang mewakili seluruh umat Islam di Indonesia - sebuah hal yang oleh cendikiawan muda NU disebut sebagai klaim yang 'terlalu percaya diri'.

Kicauan lainnya adalah penggunaan kata-kata ganti berbau etnik dan agama untuk kelompok atau orang yang dianggap bertentangan dengan pemahaman mereka. Soal minuman keras misalnya, mereka cenderung mengaitkan pengusaha miras dengan latar belakang etnik dan agama.

"Di Bekasi, seluruh data bandar miras sudah kami kantongi. Mayoritas milik Cina non Muslim. Pribumi hanya jadi konsumen sekaligus korban," cuit mereka tanpa dielaborasi lagi data kebenarannya. Nada-nada semacam ini juga kental terasa dalam kasus Ahok misalnya, atau dalam propaganda antimedia mereka.

Tapi, kepada salahsatu media pemberitaan online, Panglima Laskar FPI Maman Suryadi menegaskan bahwa FPI adalah kelompok yang menghargai kemajemukan dan juga cinta NKRI.

"NKRI ini harga mati. Kita tidak mau dianggap FPI itu perang dengan suku, terhadap etnis. Semua kalangan kita terima." tegasnya.

Berikut sejumlah hal lain yang menarik diulas seputar kicauan-kicauan FPI:

1. Si kunyuk dan celengan babi

Nyaris tidak ada hal positif yang dicuitkan @DPP_FPI tentang Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Sejak Januari hingga April 2016, FPI tampak fokus soroti kasus dugaan korupsi Rumah Sakit Sumber Waras. Mereka menyebut kasus ini sebagai 'Mega Skandal Korupsi Ahok' dan pada beberapa kesempatan mereka menggunakan tagar '#penjarakan Ahok' dan '#tangkap Ahok sang Koruptor'.

Sementara itu, pada bulan Juni, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan "tidak menemukan perbuatan melawan hukum" dalam pembelian lahan RS Sumber Waras di Jakarta Barat oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang sebelumnya dikasuskan.

Selain mencap Ahok sebagai 'koruptor' - bahkan ketika tak ada proses hukum - mereka juga menyebut Ahok sebagai 'si kunyuk mulut jamban,' 'tukang babi,' dan 'celengan babi.' Sebutan ini mereka pakai begitu dugaan penistaan agama mulai bergulir pada Oktober lalu.

Dalam satu cuitan, tepatnya empat hari setelah demo besar 4 November, @DPP_FPI menulis, "saat ini, Rakyat Negeri Antah Berantah sedang menonton rame-rame sirkus ala Raja Kodok yang sedang akrobat jungkir balik selamatkan Celengan Babi."

Ahok dikenal dengan ucapannya yang sering kontroversial. Ini protes FPI menentang gubernur Jakarta itu pada September 2014 lalu.

Pada 14 Oktober, juga masih terkait pidato Ahok di Pulau Seribu, FPI mencuit, "hanya gara-gara si kunyuk mulut jamban, negara dan aparat dibuat repot".

Dalam beberapa cuitan lainnya, Ahok juga disebut dengan nama Cina, Zhong Wan Xie. "Pendukung Zhong Wan Xie mulai tebar teror ke netizen untuk alihkan isu. @BuniYani akan dilaporkan ke polisi," cuit mereka pada tanggal 7 Oktober-nya.

Buni Yani adalah orang yang memposting video pidato Ahok di Pulau Pramuka, dengan memotong kata 'pakai' dalam kalimat 'ditipu pakai surat Al Maidah' dari transkripsi yang terdapat dalam pidato itu.

Ada lebih dari 400 cuitan dengan kata kunci 'Ahok' selama setahun terakhir, dan di banyak cuitan FPI lainnya, mereka menggunakan sebutan 'penista agama' sebagai kata ganti. Sebagai catatan, dalam kasus apapun (kriminal hingga korupsi) yang masih dalam proses oleh hukum, media massa selalu menggunakan kata 'terduga' atau 'orang yang diduga melakukan...' karena azas praduga tak bersalah. Namun bagi FPI hal itu tidak berlaku.

Direktur Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan, panggilan-panggilan itu bersifat intoleran dan masuk kategori 'hate crime/hate speech'.

"Termasuk dua-duanya, intoleran karena dia tidak bisa menerima Ahok karena rasnya," kata Bonar. "Kalau menyerang dan membenci Ahok dengan menggunakan kata-kata tertentu yang bermotifkan prasangka dan kebencian itu adalah hate crime."

Namun Panglima Laskar FPI Maman Suryadi menegaskan bahwa FPI adalah kelompok yang menghargai kemajemukan.

"NKRI ini harga mati. Kita tidak mau dianggap FPI itu perang dengan suku, terhadap etnis. Semua kalangan kita terima. Kita juga sering kedatangan pendeta-pendeta yang dialog dengan FPI."

Di samping soal Sumber Waras dan dugaan penistaan agama, FPI juga mempersoalkan sejumlah isu antara lain: penggusuran warga Luar Batang, takbir keliling, dan juga pelarangan sekolah negeri di Jakarta memaksa siswinya - termasuk non-Muslim - untuk memakai jilbab.

Rasanya kasus Ahok cukup mendominasi cuitan-cuitan FPI setidaknya pada bulan Oktober dan November. Sebagai pembanding, kata kunci atau sebutan 'Jokowi' yang terdapat di sekitar 3.000 cuitan @DPP_FPI (termasuk re-tweet) hanya ditemukan sekitar 46 saja.

2. "Media arus utama anti-Islam!"

Terdapat cuitan FPI yang juga menyatakan ketidakpercayaan mereka atas media-media besar. Mereka sering mengecap media massa besar seperti Kompas, Metro TV, Tempo, dan lainnya sebagai 'media liberal' yang 'anti-Islam'. Kompas secara spesifik disebut sebagai 'media milik kelompok Katolik', sementara Metro TV dituduh menyebar fitnah, dan Tempo diledek sebagai 'Tempe', dan dituding melakukan 'framming jahat' dalam sejumlah beritanya.

Secara khusus, sejumlah berita media arus utama yang dikritik antara lain:

  • Penggunaan pakaian gamis yang dianggap memiliki motif salib di tayangan Ramadhan TVRI
  • Berita berjudul Dipertanyakan, Ada Bendera ISIS Saat Aksi Dukung Palestina di Bundaran HI di situs Kompas.com
  • Pemberitaan tentang penggrebekan Warteg Saeni di Banten ketika bulan puasa.

Tapi di sisi lain, mereka juga kerap me-retweet konten-konten dari Postmetro, sebuah situs dengan lima orang karyawan yang kerap mengambil kerja jurnalistik media lain dan mengubahnya dengan judul sensasional dan berapi-api. Mereka juga menyebarkan konten panjimas.com misalnya, yang pada April 2015 sempat diblokir Kominfo karena dianggap memiliki muatan 'radikal' (walau akhirnya dibuka kembali).

Namun meski FPI sering lontarkan kritikan tajam terhadap media arus utama, tampak tidak ada upaya yang mereka lakukan untuk protes formal pada Dewan Pers. Berdasarkan laporan pengaduan yang diterima tahun 2016, tidak ada satu pun laporan atas nama Front Pembela Islam terkait berita-berita yang dikritik dalam cuitannya. Dalam kasus Saeni dan 'gamis bermotif salib' TVRI misalnya, FPI memilih langsung mendatangi media tersebut.
Akun yang banyak di re-tweet @DPP_FPIJumlahStatus
@syihabrizieq164Ditangguhkan, kemudian berganti nama
@SuaraIslamOn49Aktif (situsnya pernah diblokir Kominfo akhir tahun lalu.
@maspiyungan49Aktif
@ayahnya_faris47Ditangguhkan, kemudian berganti nama
@HumasFPI38Ditangguhkan
@TofaLemon31Tidak aktif

Ketua Dewan Pers Stanley Adi Prasetyo mengatakan, FPI hanya pernah mendatangi Dewan Pers pada 2014 lalu. Dipimpin Munarman, mereka mengadukan pemberitaan tujuh televisi karena dianggap menyudutkan kelompok itu (FPI) dan Dewan Pers melihat memang ada kesalahan oleh media yang waktu itu memberi stigma pada FPI.

"Dianggap menjelang puasa, semua aksi sweeping dan kekerasan atas nama agama dilakukan FPI, padahal ada kejadian bukan FPI tapi ormas lain," jelas Stanley. "Yang lainnya lagi mengatakan bahwa FPI ini adalah bagian dari kelompok yang mendukung ISIS. Itu tidak benar."

Secara umum, memang ada sejumlah masalah dalam media massa, aku Stanley. "Bukan tidak mungkin media arus utama melakukan kesalahan." Tapi mengecap semua media arus utama sebagai anti-Islam adalah kekeliruan. "Adukan ke Dewan Pers. Pengadil itu adalah Dewan Pers sesuai amanat Undang-Undang, tidak boleh mereka melakukan penilaian dan menyebarkan pesan yang mendelegitimasi media-media arus utama karena itu akan menumbulkan masalah." ujar Stanley.

"Jangan berusaha menghasut masyarakat karena itu bisa pidana, dan saya kira itu sudah ranah Kominfo untuk meneliti, jangan dibiarkan." pintanya

Panglima Laskar FPI Maman Suryadi mengatakan, pihaknya tidak membenci media, tapi wartawan memang selalu mencitrakan FPI negatif.
Mengapa tak dilaporkan saja ke Dewan Pers? "Sudah, tapi ya Anda tahu sendiri media punya siapa," katanya.

Sementara itu, Direktur NU Online Savic Ali punya pandangan berbeda. Dia mengatakan salah satu alasan mengapa FPI tidak menyukai media arus utama karena media "tidak memenuhi harapan politik mereka."

3. Minoritas menindas mayoritas?

Ada semacam kekhawatiran yang diangkat oleh sejumlah cuitan FPI terkait bagaimana mayoritas diperlakukan oleh kelompok minoritas. Dalam rangkaian cuitanya pada 9 September, mereka menulis, "mayoritas terus diminta toleransi, tetapi minoritas acap kali provokasi. Jika minoritas tahu diri, maka mayoritas pasti bisa tahan diri."

Salah satu yang mereka permasalahkan adalah peristiwa perusakan Vihara di Tanjung Balai yang pemberitaannya dianggap menyudutkan umat Islam. Dalam cuitan akun @shihabrizieq (yang kemudian di re-tweet FPI) tertulis bahwa kasus Tanjung Balai "dalam pandangan dan ulasan media liberal bahwa umat Islam salah" dan "lebih salah lagi karena tidak mau 'ditegur' oleh Si Cina Non Muslim yang memprotes Adzan dengan menghardik..."

Begitu juga dalam kasus Tolikara, mereka meanggap bahwa 'media liberal' juga menyalahkan umat Islam. "Media Liberal salahkan umat yang gelar sholat di tengah larangan mayoritas Kristen. Sedang berita pembakaran masjid dan pemerasan serta intimidasi terhadap umat Islam Tolikara tidak disentuh," kata mereka.

Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos mengatakan bahwa narasi tentang kelompok 'minoritas yang menindas mayoritas' ini adalah bentuk framing yang dilakukan tidak hanya oleh FPI tapi juga oleh kelompok-kelompok radikal lainnya yang tujuan mereka adalah agar mendapat simpati dari publik.

"Ahmadiyah tidak dilarang, kita perang!" salah satu spanduk agitatif dalam protes FPI

"Mereka mengklaim mewakili umat Islam, dan mereka menggambarkan bahwa umat Muslim mengalami marjinalisasi, secara populasi dominan tapi dalam posisi ekonomi politik digambarkan sebagai minoritas. Ini premis yang dibentuk mereka untuk mencari dukungan publik. Untuk itu mereka melakukan semacam manipulasi atau memelintir fakta untuk menjustifikasi propaganda mereka. Propaganda yang paling efektif itu kan jika dibumbui dengan sedikit fakta yang memang ada," jelas Bonar.

Menurut Bonar, memang betul bahwa dalam beberapa kasus, umat Islam di beberapa daerah menjadi minoritas dan mendapat diskriminasi. Tetapi kasusnya tidak banyak dibandingkan kasus intoleransi di Jawa. Bonar melanjutkan, dalam riset-riset yang dilakukan Setara, mereka menemukan bahwa kasus intoleransi terjadi "karena dua aktor yang berkelindan yaitu kelompok-kelompok agama ekstrem dan pemerintah daerah." Dalam artian bahwa pemerintah daerah kerap tunduk di bawah tekanan ormas garis keras sehingga cenderung melakukan pembiaran.

Narasi FPI yang disebut memelintir itu terlihat dalam kasus Tanjung Balai misalnya, yang diawali dari keluhan warga etnik Tionghoa terhadap speaker (pengeras suara) masjid. "Dalam regulasi jelas Melani (warga Tionghoa yang mengeluhkan) tidak salah karena dasar regulasi menteri, speaker masjid dibolehkan saat azan saja, tapi tidak kemudian di luar itu. Misalnya kotbah, membaca Al-Quran tidak boleh diarahkan keluar, tapi itu diabaikan," jelasnya.

Bonar juga mengatakan, narasi semacam ini mereka gunakan tidak hanya pada isu-isu teologis saja, tapi isu lain juga. "Ada narasi yang coba mereka bentuk untuk meyakinkan publik bahwa ada masalah dengan umat Islam di Indonesia oleh karena itulah kami muncul untuk membela kalian."

Misalnya soal isu tenaga kerja asal Cina dan masalah komunisme. "Mereka main di berbagai macam isu terutama soal dominasi ekonomi Tionghoa, bahaya komunis juga mereka mainkan. Karena mereka memang punya hidden agenda, tapi mereka mencoba menampilkan dirinya sebagai pembela Islam, juga sebagai pembela Pancasila kadang-kadang..." kata Bonar.


Ahok dicap sebagai musuh Islam. Sebuah poster dalam protes FPI di Jakarta

Menurut Bonar, upaya pencitraan sebagai pembela Pancasila ini terlihat dari bagaimana mereka memainkan isu komunisme. "Mereka sadar betul masyarakat Indonesia sensitif jika ada suara-suara yang ingin mengganti Pancasila, mereka tidak mau konfrontatif soal itu." ujarnya.

Dalam satu kicauannya, @DPP_FPI menulis, "siapapun yang aktif propagandakan komunisme, adalah musuh Pancasila. Mereka tidak layak hidup di Indonesia. Kami dukung polisi sapu bersih mereka," (Tertanggal 4 Mei 2016).

Direktur NU Online dan Nutizen Savic Ali melihat narasi itu sebagai sebuah rasa 'iba diri' dan dalam realitas opini itu tidak bisa dikatakan valid.

"Kenapa mereka merasa ditindas? Karena mereka tidak direpresentasikan oleh partai-partai yang ada. FPI tidak merasa direpresentasikan oleh PPP, PKB, oleh bahkan PKS, atau PBB. Mereka merasa tak punya teman. Tapi itu menunjukan bentuk ketidakmampuan mereka dalam konteks perjuangan politik dan membuktikan mereka tidak punya pendukung dan tidak layak merasa mayoritas." jelas Savic.

4. Ancaman kekerasan

Berbagai kicauan FPI juga berbau ancaman kekerasan. Dalam satu seri kicauannya, FPI mengatakan bahwa mereka siap meratakan tempat-tempat prostitusi di DKI Jakarta, kalau polisi tinggal diam.

"Kami tegaskan sekali lagi, jika diminta TNI, Polri, untuk bersihkan Kalijodo, FPI 1000% SIAP. Bahkan bukan hanya Kalijodo, seluruh tempat-tempat maksiat di DKI Jakarta siap kami ratakan dengan tanah. 1000% Kami SIAP! [...] Kalau aparat sudah turun tangan untuk berantas kemaksiatan, maka FPI tinggal mendoakan. Tapi kalau aparat hanya berdoa, biar FPI yang turun."

Nada yang mengancam ini juga tampak dalam seri kicauannya terhadap kelompok LGBT. "Kami peringatkan kepada ILGA-GAYa NUSANTARA, Coba-coba kalian ulangi gelar acara LGBT di Indonesia, kalian akan berurusan dengan FPI seperti tahun 2010."

Dan terhadap acara-acara diskusi sejarah, termasuk pembahasan tentang peristiwa 1965, FPI mencuit, "Kalau TNI Polri tidak mau tindak kegiatan-kegiatan komunis, maka jangan salahkan umat yang akan membubarkan setiap acara komunis."


Menolak majalah Playboy 2007

"FPI tampak tak paham tentang batas-batas berdemokrasi," kata Savic Ali.

"Mengagitasi kekerasan bukanlah kebebasan berpendapat karena bisa membahayakan orang lain. Kalau berpendapat 'saya tidak suka liberal' itu boleh, tapi kalau bilang 'liberal musuh Islam harus digasak', ini agitasi. Dan menurut saya FPI sangat sering tindakannya mengaktivasi kekerasan," katanya.

Atau... dalam perumpamaan lain: Anda boleh tidak setuju dengan LGBT, tetapi mengajak orang untuk 'membasmi kaum LGBT' adalah keliru. Tafsir-tafsir tentang ke-Islam-an versi FPI selalu dipaksakan dalam negara hukum dan, menurut Savic, ini membuktikan satu hal: mereka ini tidak benar-benar menerima Pancasila.

Tapi, bagaimana soal klaim dalam banyak cuitan-cuitan mereka, bahwa FPI adalah justru organisasi penjaga nilai Pancasila?

"Enggak bisa, dia tidak menghargai ke-Bhinneka-an kok. Kalau mereka ingin memaksakan satu nilai tafsir mereka dalam hukum positif, itu menunjukan mereka tidak menghargai Pancasila. Belum lagi ada persoalan dalam Islam pendapat tidak tunggal. Soal jilbab saja dalam Islam ada yang bilang wajib, ada yang bilang tidak wajib."
"Islam versi FPI tidak kompatibel dengan demokrasi."

Untuk urusan ini Panglima Laskar FPI Maman Suryadi mengatakan mereka tetap menghormati hukum. "Kita selalu kerja sama dengan polisi, kita koordinasi. Ada standar juang yang harus kita lakukan. Semua kan laporan dari masyarakat. Kalau FPI melakukan tindakan yang dianggap keras, bukan kita berarti anarkis."
"Kami berusaha mengubah citra, jangan selalu diputar-putar lagi pencitraan yang lama, yang dulu diungkit-ungkit lagi."

5. Lain-lain yang dipercaya FPI...

Cuitan-cuitan FPI juga mencerminkan kepercayaan tentang banyak hal, dari masalah teologi hingga sosial:

  • 'Selamat Natal' haram diucapkan oleh umat Islam karena disebut 'memiliki konsekuensi pada akidah'.
  • Menolak keras pemimpin non-muslim dan menyebut ucapan 'saya muslim tapi dukung pemimpin kafir' itu mirip dengan perumpamaan 'saya Muslim tapi dukung pelacuran'. Dua-duanya "sama-sama HARAM," cuit mereka.
  • Mereka percaya LGBT adalah perilaku yang bisa 'disembuhkan.' Dan, "mendukung LGBT adalah tindakan mengkhianati Pancasila."
  • Deliberalisasi tidak kalah pentingnya dari deradikalisasi.
  • Para ulama FPI meminta film pemberontakan G30S/PKI diputar kembali.

Catatan: Banyak pengguna telah membaca sekitar 3.194 kicauan @DPP_FPI di Twitter yang dicuitkan dari 3 Januari 2016 hingga 9 Januari 2017 (diekstrak melalui situs allmytweets.com). Ribuan pesan itu termasuk cuitan langsung dan re-tweet. Akun @DPP_FPI berserta akun Rizieq Shihab ditangguhkan oleh Twitter pada 16 Januari. Anda bisa melihat kicauannya disini.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama