Dalam pengadilan, yang ada adalah hakim, jaksa, saksi dan tersangka. Semua status lepas, semua setara di hadapan meja hijau. Tidak ada Presiden, Bos, Kiyai, Muslim, Kafir, Pintar, Goblok dll.
Teringat kisah Sayyidina Ali yang saat itu seorang Amirul Mu'minin ternyata pernah kalah dalam pengadilan syariat melawan seorang Yahudi dalam persoalan dicurinya baju zirah beliau.
Sayyidina Ali kalah karena dianggap kurang reliable-nya saksi yang dihadirkannya (karena saksi adalah Al Hasan yang merupakan putranya sendiri). Sungguh "tragis", cucu tercinta Nabi, putra Ali dan Fathimah az-Zahra, sang cahaya ahlulbait yang diakui dunia Islam sebagai penghulu pemuda surga ditolak kesaksiannya oleh pengadilan islam karena dianggap punya hubungan pribadi dengan pelapor.
Tidak masuk akal? Ya, Demi Allah itu tidak masuk akal. Jika Al Hasan kesaksiannya tak bisa diterima, maka siapa lagi manusia di muka bumi yang bisa diterima kesaksiannya?
Tapi demi Allah, peristiwa ini benar-benar dicatat dalam sejarah Islam. Padahal pengadilan islam secara logis mustahil menolak kesaksian cucunda Nabi Hasan Al Mujtaba. Ini adalah "kekurang-ajaran" yang luar biasa, bukan hanya pada ulama, tapi pada tokoh Ahlulbait, Habib diatas Habib, hujjah Allah pada sekalian makhluq-Nya.
Tapi ternyata hukum Islam yang ditegakkan saat itu menjunjung asas rasa keadilan bagi si Yahudi yang berperkara dengan Sayyidina Ali. Keadilan harus ditegakkan, prinsip saksi yang reliable & netral harus dijunjung. Hasilnya si Yahudi menang, baju zirah dinyatakan adalah miliknya dan ia tak terbukti mencurinya dari Sayyidina Ali. Tak ada umat Islam yang mengumpat, menuntut, tak ada yang berteriak-teriak di jalan dengan slogan bela ini, bela anu, sekalipun Khalifah Islam dikalahkan dan putranya ditolak di pengadilan.
Melihat hasil itu si Yahudi tercengang. Bagaimana mungkin ia bisa menang di kandang lawan dan yang ia lawan adalah pemimpin mereka. Akhirnya ia mengakui mencuri baju zirah itu dan menyatakan masuk Islam melihat betapa adil & gentle-nya pengadilan islam yang benar-benar islam, yaitu menjunjung keadilan bagi siapapun & apapun agama dan statusnya. Bukan pengadilan islam rasa ashhobiyyah.