Ary Media - Dalam buku Guruku Orang-orang dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri menceritakan kekonyolan para serdadu Jepang menjelang kekalahannya. Dai Nippon memang cepat menguasai Pasifik dan Asia Tenggara, namun cepat pula rontok dihajar Sekutu.
Agar moralitas prajuritnya tidak anjlok, propagandis Jepang senantiasa menyiarkan kabar kemenangan Jepang di berbagai palagan, heroisme serdadu, kekalahan musuh secara menyakitkan, dan sebagainya.
Propaganda tersebut terus menerus disampaikan melalui Domei, kantor berita Jepang, maupun melalui koran Tjahaja, Soeara Asia, dan Asia Raja.
Di sinilah kekonyolan itu bermula. Setiap hari koran-koran ini memberitakan apabila Jepang berhasil menghancurkan sekian puluh tank, merontokkan puluhan pesawat terbang, membunuh ribuan prajurit Sekutu, dan sebagainya. Sehingga, kata Kiai Saifuddin Zuhri, jumlahnya sangat tidak masuk akal jika dikalkulasi. Irrasional.
Di sini para kiai tahu jika Jepang sudah di ujung tanduk dan berita itu hanya untuk menutupi keroposnya kekuatan mereka. Tujuan lain, mempertahankan moril pasukan mereka di pelosok-pelosok.
Ketika panglima Isoroku Yamamoto tewas, moril tempur pasukan terus dijaga. Solusinya propaganda terus disemburkan. Dibuatlah mitos Jepang tak terkalahkan. Jepang yang perkasa.
Hideki Tojo, Perdana Menteri Jepang, ini yang tahu mekanisme penggunaan taktik psikologis sekutu Jermannya, “Kebohongan yang terus-menerus diulang akan dipercaya sebagai sebuah kebenaran”, sebagaimana doktrin Joseph Goebbels.
Efeknya dahsyat. Di film Letters From Iwojima, ada adegan di mana para perwira bersikeras tidak mau mendengar berita jatuhnya pangkalan militer Jepang di berbagai kawasan. Mereka percaya, Jepang dilindungi dewa. Mereka percaya, prajurit Jepang adalah yang terbaik, dan ketika kekalahan diumumkan, mereka frustrasi. Tidak mau menerima kabar menyakitkan ini.
Di Maluku dan Filipina, bahkan ada dua serdadu Jepang yang bertahan hingga tahun 1970-an. Gila. Perang Pasifik sudah berakhir tahun 1945, dan mereka masih bersembunyi dengan karaben dan sangkurnya, dengan tubuh ringkihnya, dengan pakaian compang-camping didampingi pedang samurainya. Mereka menderita delusi, wahm, bahwa perang masih ada, dan prajurit-prajurit ini menunggu jemputan kawan-kawannya.
Hideki Tojo, perdana menteri pecandu perang itu, memang tak percaya Jepang bertekuk lutut. Dia mengambil pistol. Menembak dadanya. Harakirinya gagal. Nyawanya masih betah dalam raganya. Dia akhirnya didakwa sebagai penjahat perang.
Mengapa Tojo dan para perwira Jepang tak mempercayai kekalahannya? Penyebabnya satu: delusi! Mereka membangun istana bayangan dalam pikirannya. Mempercayainya dengan sepenuh hati dan memaksa orang lain untuk mempercayainya. Diam-diam, mereka menderita antisocial personality disorder. Sindrom apa lagi ini?
Rijal Mumazziq Z, Rektor Institut Agama Islam Al-Falah Assunniyyah Kencong, Jember, Jawa Timur
Kunjungi sumber berita