Ary Media - Dalam konteks kehidupan jangka panjang, ada gejala sosial yang perlu dikoreksi terkait dengan hubungan muda-mudi.
Masyarakat umum kini telah dibentuk pikirannya untuk menerima aktifitas bernama pacaran yang terselip di antara sekolah/kuliah dan menikah atau berimpit dengan masa-masa sekolah/kuliah.
Pacaran yang dimaksud adalah aktifitas terbuka maupun rahasia, yang melibatkan sepasang manusia berlawanan jenis yang sedang mewujudkan perasaan kasih sayang berupa perilaku mencari kesenangan baik berupa menghabiskan waktu bersama sekadar untuk bercakap-cakap yang tidak perlu, maupun tindakan lain di luar kendali akal dan logika.
Apabila aktifitas berpacaran tersebut dilakukan dalam ikatan pernikahan, maka keindahan dunia yang terasa akan semakin lengkap dengan adanya jaminan keamanan saat di akhirat kelak. Adapun bagi yang menjalaninya sebelum ada ikatan pernikahan, sungguh banyak ranjau cobaan yang siap untuk meledak, mencelakakan pelakunya di dunia dan di akhirat.
Ada perzinahan didalam pacaran
Mengapa pacaran itu dilarang?
- Membuang waktu untuk sesuatu yang dapat merusak masa depan dan mempermainkan hati
- Menghabiskan biaya yang tidak sedikit untuk manfaat yang belum nyata dan jauh dari kemuliaan
- Tidak aman karena tidak ada kontrak, lemah di sisi hukum, berpotensi konflik dengan merugikan pihak wanita
- Berbohong dan berdusta menjadi hal biasa demi menyembunyikan tabiat asli atau menenangkan hati lawan jenis
- Wanita dapat berpacaran dengan lebih dari satu pria, dan sebaliknya, tanpa saling mengetahui
- Godaan syaitan untuk berzina sangat kuat, seperti kuatnya godaan kepada Nabi Adam untuk memakan buah khuldi
- Setelah zina, ada potensi munculnya anak di luar pernikahan, status hukumnya lemah bila tanpa ada ayah
- Bila anak tidak diinginkan oleh ibu atau ayahnya, ada potensi pembunuhan terhadap janin maupun bayi
- Si pria harus bertanggung jawab bila si wanita hamil, padahal belum tentu wanita itu berpacaran hanya dengan 1 pria
- Dokumentasi mesum yang memalukan dapat saja muncul beberapa tahun kemudian, bahkan setelah menikah dengan orang lain
- Menularnya penyakit kelamin, hingga AIDS yang mematikan
- Kualitas diri menjadi rendah, tak ubahnya barang display yang bebas disentuh siapa saja yang sedang menjadi pacar, padahal yang dinikahinya nanti besar kemungkinan adalah orang lain
- Mengundang ghibah, menjadi gunjingan kerabat, dapat mempermalukan orang tua
- Anak (di masa depan) sulit dilarang berpacaran, karena tahu bahwa orang tuanya pun dulu berpacaran
Jadi, urutan yang benar bukanlah pacaran lalu menikah, tetapi menikahlah dulu, baru pacaran.Tips:
Jangan dekati lawan jenis (target), kecuali tujuan Anda adalah untuk menikah dengannya. Apabila Anda belum siap untuk menikah, jangan mau didekati, maupun mendekati lawan jenis.
Bila tidak berpacaran, bagaimana bisa tahu tentang calon pasangan yang akan menikahi/dinikahi?
- Cukup dengan berkenalan, tanyakan hal-hal yang perlu untuk ditanyakan, misalnya pekerjaannya, penghasilannya, misinya berkeluarga, hobi dan kesenangannya, kesehatannya, jumlah tanggungannya dalam keluarga, dll.
- Temui calon pasangan di bawah pengawasan muhrimnya/muhrim kita, pandanglah hal yang menarik dari dirinya.
- Cari referensi dari orang ketiga, konfirmasikan tentang yang ingin diketahui.
- Amati dari jauh seperlunya, tanpa perlu diketahui oleh yang sedang diamati.
- Pertimbangkan persamaan dan perbedaan, antisipasi hal-hal yang berpotensi menjadi penyebab konflik.
- Memohon petunjuk kepada Allah SWT untuk diberikan yang terbaik sebagai pasangan.
“Nikah itu sunnahku, barangsiapa yang tidak suka, bukan golonganku.” (HR. Ibnu Majah, dari Aisyah r.a.)
“Empat macam diantara sunnah-sunnah para Rasul yaitu : berkasih sayang, memakai wewangian, bersiwak dan menikah.” (HR. Tirmidzi)
“Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah mampu untuk kawin, maka hendaklah dia menikah. Karena dengan menikah itu lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum mampu, maka hendaklah dia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu bisa menjadi perisai baginya.” (HR. Bukhori-Muslim).
Sumber: akhwatmuslimah.com