Seorang sahabat saya bercerita, ada teman fesbuknya menulis ujaran kebencian kepada seorang ulama. Isinya caci maki. Tulisan caci maki itu pun mengundang reaksi para pemuda Ansor.
Si penulis status buruk itu diperingatkan oleh anggota Ansor agar menghapus tulisannya. Dia menolak, tetap merasa berhak mencaci si ulama karena menurutnya si ulama itu orang sesat dan munafik karena dia anggap membela seorang Kristen. Sedangkan menurut dia Kristen itu kafir yang harus diperangi.
Anggota Ansor yang lain mengingatkan dia agar berhenti mencaci ulama dan meminta maaf. Si penulis status bergeming, tetap merasa benar dan yang salah adalah si ulama.
Tak mempan dinasihati, seorang anggota Ansor yang lain lagi memberi ancaman: Tolong hapus tulisanmu, jika tidak, akan kami laporkan ke polisi".
Diancam begitu, si pemuda pengagum Rizieq Shihab itu malah menantang: "Silakan laporkan polisi. Saya tidak takut. Polisi itu thoghut, memakai hukum buatan manusia. Hukum Indonesia itu fasiq. Aku hanya takut hukumnya Allah".
Banyak yang gemes dengan sesumbarnya itu, tapi para anggota Ansor tetap tidak mengancam semisal akan memberi "hukuman adat" padanya.
Para anggota Ansor disertai beberapa angota IPNU lantas mendatangi rumah si penulis status. Itu upaya terakhir memberi nasihat. Dengan ditemui langsung diharapkan dia akan berhenti pongah. Ternyata tidak, tetap saja sombong dan menantang semakin kencang.
"Silakan laporkan polisi sekarang juga jika kalian tidak terima," ucapnya congkak.
Usai dari rumah si pemuda, para pemuda Ansor langsung ke kantor polisi untuk melapor. Polisi pun memproses laporan tersebut, dan pada hari berikutnya polisi menyampaikan surat panggilan pemeriksaan kepada si pemuda terlapor.
Tak seperti omongannya, si pemuda gemetar begitu mendapat surat panggilan dari polisi. Dia ternyata takut datang ke kantor polisi. Istrinya pun menangis karena melihat suaminya begitu ketakutan akibat terbayang akan dipenjara.
Sore itu, si pemuda congkak yang kini lututnya lemes itu lantas membawa anak dan istrinya ke rumah ketua Ansor. Sambil menangis mengiba-iba dia meminta maaf dan meminta agar laporan itu dicabut.
"Mas, Pak, Kang. Tolong kasihani saya. Ini keluarga saya akan menderita jika saya dipenjara. Mohon maafkan saya, status saya sudah saya hapus dan saya berjanji tidak akan mengulangi. Mohon cabut laporan ke polisi itu. Saya sungguh menyesal," katanya sambil menekuk lutut tanpa menyerah.
Sebenarnya para pemuda Ansor gemes padanya. Ingin mereka meniru ucapan orang-orang GNPF MUI dan FPI: "Maafkan sih maafkan, tapi proses hukum jalan terus". Atau bahkan menggerakkan massa untuk mendemo sampai tiga jilid.
Tapi jelas hal itu tidak akan dilakukan. Sahabat-sahabat Ansor itu terlalu lama digembleng ilmu hikmah oleh para kiai, sehingga hati mereka langsung luluh melihat tangisan seorang wanita dan anaknya. Kasihan pada istri dan si anak dari pemuda itu, maka dimaafkanlah sang penghina ulama.
Ketua Ansor lantas memerintahkan agar mencabut laporan ke polisi. Polisi dinego agar tidak melanjutkan kasus tersebut.