Tiga Kali Tidak Sholat Jum'at Jadi Munafik atau Kafir?

Tiga Kali Tinggalkan Jum'atan Jadi Kafir?
Bertakhiyat

Pertanyaan
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Yang terhormat redaksi Bahtsul Masail NU Online. Benarkah lelaki muslim yang tiga kali tidak sholat Jumat dihukumi kafir? Jika ia sholat apakah sah? Jika ia membaca syahadat, apakah Islam kembali. Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Bagus Alvi).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Alloh SWT senantiasa melimpahkan rahmat serta petunjuk-Nya untuk kita semua. Jumat merupakan hari ied mingguan bagi kita umat Islam. Sementara sholat Jumat merupakan sebuah kewajiban bagi mereka yang menjadi ahli Jumat seperti laki-laki, sehat, aqil, baligh, penduduk setempat, dan seterusnya sebagaimana yang telah diatur dalam kitab fikih.

Kewajiban sholat Jumat sangat kuat. Karena di dalamnya banyak sekali keutamaan. Bahkan, sholat Jumat disinggung secara khusus dan diabadikan dalam Al-Quran pada surat Al-Jumuah.

Sedangkan soal status kufur-nifaq yang disematkan kepada mereka yang meninggalkan sholat Jumat tiga kali berturut-turut, didasarkan pada sebuah hadits Rosululloh SAW. bahwa mereka yang meninggalkan sholat Jumat sebanyak tiga kali akan dicatat sebagai golongan munafiq.

Tetapi, apakah munafiq yang dimaksud ini adalah munafiq-kafir seperti sebagian penduduk Madinah dan sekitarnya di zaman Rosululloh SAW atau sekadar munafiq-praktis? Sebaiknya kita melihat keterangan Al-Munawi perihal hadits tersebut.

من ترك ثلاث جمعات من غير عذر كتب من المنافقين) أراد النفاق العملي قال في فتح القدير : صرح أصحابنا بأن الجمعة فرض آكد من الظهر وبإكفار جاحدها.

“(Siapa saja yang meninggalkan tiga Jumat tanpa udzur, maka ia akan dicatat sebagai kalangan orang-orang munafik) munafik yang dimaksud adalah kemunafikan dalam bentuk perbuatan, (bukan keyakinan). Penulis Fathul Qadir menyebutkan, sahabat-sahabat kami menyatakan bahwa shalat Jumat adalah kewajiban bahkan lebih wajib dari sembahyang Zuhur. Mereka juga menyatakan bahwa orang yang mengingkari kewajibannya menjadi kafir,” (Lihat Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul Qadir, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, tahun 14-15 H/1994 M, juz 6, halaman 33).

Dari keterangan Al-Munawi tersebut diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa sifat kemunafikan terbagi sedikitnya atas dua jenis, pertama; munafik keyakinan (mereka yang memang tidak beriman kepada Alloh dan rosul-Nya seperti banyak orang Madinah di masa Rosululloh SAW yang kerap disinggung Al-Quran), kedua; munafik perbuatan (mereka yang benar-benar beriman kepada Alloh dan rosul-Nya, hanya saja kerap melanggar agama seperti berbohong, berkhianat, melanggar janji). Mereka yang meninggalkan sholat Jumat tiga kali itu termasuk dalam kategori kemunafikan jenis kedua.

Dengan demikian, tentunya mereka yang meninggalkan sholat Jumat tidak keluar dari Islam. Artinya, ia tidak perlu membaca syahadat kembali sebagai pernyataan masuk Islamnya. Hanya saja ia harus bertobat kepada Alloh dan beritikad kuat di dalam hati untuk tidak mengulangi lagi kesalahannya. Meninggalkan sholat Jumat termasuk salah satu dosa besar. Karenanya agama Islam sangat mengecam keras orang-orang yang meninggalkan sholat Jumat tanpa adanya uzur/alasan syar’i.

Lalu jika merujuk pada pandangan para Ahlussunnah wal Jamaah, orang beriman yang terjebak dalam dosa kecil maupun besar (misalnya meninggalkan sholat Jumat) tetap dihukumkan sebagai seorang yang beriman. Artinya, kalau orang seperti ini meninggal dunia, kita yang masih hidup tetap berkewajiban mengurus jenazahnya dari awal sampai akhir seperti keterangan Syekh Al-Baijuri dalam Jauharatut Tauhid berikut ini.

لا نكفر مؤمنا بالوزر) مفرع على ما ذكر أي فلا نكفر بالنون أي معاشر أهل السنة أو بالتاء أي أيها المخاطب أحدا من المؤمنين بارتكاب الذنب صغيرة كان الذنب أو كبيرة عالما كان مرتكبه أو جاهلا بشرط أن لا يكون ذلك الذنب من المكفرات كإنكار علمه تعالى بالجزئيات والا كفر مرتكبه قطعا وبشرط أن لا يكون مستحلا له وهو معلوم من الدين بالضرورة كالزنا وإلا كفر باستحلاله لذلك وخالفت الخوارج فكفروا مرتكب الذنوب وجعلوا جميع الذنوب كبائر كما سيأتي (ومن يمت ولم يتب من ذنبه فأمره مفوض لربه)

“(Kita tidak boleh mengafirkan orang lain yang seiman karena sebuah dosa), ini rincian atas penjelasan sebelumnya. Kalau dibaca dengan ‘nun’, maka artinya ‘Kita sebagai penganut Ahlussunah tidak mengafirkan orang lain.’ Kalau dibaca dengan ‘ta’, maka artinya, ‘Kamu tidak boleh mengafirkan orang lain yang seiman karena ia telah berdosa baik dosa kecil maupun dosa besar, baik ia menyadari maupun tidak menyadari bahwa itu adalah dosa.’ Tentu dengan catatan bahwa dosa itu bukan termasuk dosa yang menyebabkannya menjadi kufur seperti pengingkaran atas pengetahuan Allah terhadap hal-hal yang kecil. Kalau seseorang mengingkari itu, maka ia jatuh ke dalam kekufuran. Di samping itu ia juga tidak menghalalkan larangan Allah yang sangat maklum dalam agama seperti larangan zina. Kalau seseorang menganggap halal larangan seperti itu, maka ia telah kufur karena telah menganggap halal larangan yang hukumnya sudah terang. Ahlusunnah berbeda dengan kelompok Khawarij. Khawarij mengafirkan orang seiman yang berbuat dosa dan mereka menganggap semua dosa itu sebagai dosa besar. (Orang beriman yang meninggal dunia sementara ia belum sempat bertobat, maka [kita] serahkan saja kepada Allah),” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabaiyah, tanpa tahun, halaman 112).

Sehingga kemudian kami menyarankan, kita sebaiknya lebih bersemangat dalam sholat Jumat karena selain kewajiban, di dalamnya juga terdapat banyak keutamaan. Selagi tidak ada uzur yang memberatkan, sebaiknya kita menunaikannya.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama