Ary Media, Jakarta - Telah kita ketahui bersama bahwa kecintaan Bung Karno terhadap Islam ia tunjukkan dengan cara pandang yang kritis melalui dialognya dengan para tokoh Islam pada masanya, seperti Tuan A. Hasan, dan juga tokoh-tokoh lainnya. Sikap Bung Karno yang kritis itu dimaksudkan supaya Islam secara substansi yang digambarkan sebagai 'Api Islam' dapat menerima modernitas sehingga mampu menjadi basis teologis suatu bangsa modern dan demokratis.
Dulu Bung Karno aktif juga mengkaji Islam secara internasional, terutama proses transformasi politik Islam dari keruntuhan Kekhilafahan Turki Ustmani menjadi Republik, serta awal berdirinya negara bangsa di Timur Tengah.
Bung Karno memang menaruh perhatian besar terhadap proses modernisasi Kemalis sekuler dalam membangun Turki modern. Kemal Attaruk menghilangkan unsur-unsur Islam yang berlumuran kemerosotan moral dan kerusakan sosial yang pada gilirannya menghancurkan kekuasaan Turki yang telah berkuasa selama 642 tahun (1281-1923).
Maka telah terbukti Bung Karno tidak mau mengambil khilafah sebagai bentuk negara merdeka yang dicitakan karena kemerosotan tersebut. Namun, yang menarik adalah bagaimana Bung Karno mencari antitesis dari khilafah secara berbeda dengan Kemal Attatruk yang menempuh jalan sekukarisme radikal dalam membangun Turki modern, termasuk yang paling ekstrem adalah mengganti azan dalam bahasa Turki.
Betapapun kritisnya Bung Karno terhadap Islam, sampai Bung Karno pernah menyebut 'Islam sontoyo' dalam memaparkan atau menggambarkan Islam yang anti-modernitas, tapi ia tidak lantas menghilangkan Islam dalam konsep keindonesiaan. Bung Karno bersama para pendiri bangsa ini menyepakati urgensi agama dalam kehidupan bernegara.
Yang mereka pikirkan bagaimana menjembatani eksklusivitas agama-agama dengan suatu 'kesepakatan bersama' yang inklusif, dan mampu merepresentasikan agama-agama tersebut dalam tatanan kebangsaan dan relasi sosial yang modern.
Lahirnya Pancasila yang digagas oleh Bung Karno, dan dimatangkan oleh tokoh-tokoh kemerdekaan merupakan gagasan genius dalam meletakkan agama secara benar, substantif dan menegosiasikan dalam konteks negara bangsa yang plural dan multi-kultural.
Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi 'jalan tengah' dan 'margin of appreciation' keberadaan semua agama tanpa terjebak dalam relativitas yang menghilangkan substansinya. Gagasan cerdas inilah yang menyelamatkan Indonesia dari sekularisme radikal yang merampas religiositas warga dan menimbulkan 'dendam kolektif" seperti di Turki.
Di sisi lain, Sila Pertama ini juga menyelamatkan Indonesia dari kerumitan relasi Islam simbolis dan negara yang dialami negara-negara di Timur Tengah. Jadilah Indonesia sebagai religious friendly country.
Pendekatan yang ditempuh Bung Karno dan para tokoh kemerdekaan terbukti lebih ' liat' dan ' tahan uji' ketimbang sekularisme Attatruk yang rapuh terlibas gerakan Islamis pimpinan Recep Erdogan pada 2003.
Islam moderat yang menjadi api Pancasila akan terus terjaga jika masyarakat Indonesia mampu dan mau merawatnya, serta tidak menyerahkan pada kelompok-kelompok pendukung khilafah yang telah kehilangan relevansinya. Dan, mempertahankannya dari ancaman sekularisme radikal yang berpotensi memunculkan backlash populisme agama.
Ruhaini, Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Internasional